
METROSEMARANG.COM – Kesukaannya terhadap anak kecil menjadi langkah awal Dewi Nur Cahyaningsih untuk mendekati anak jalanan di Semarang. Dari ide-ide kreatifnya, dia berusaha memutus mata rantai eksploitasi anak-anak dan mengentaskan mereka dari kehidupan di jalanan.
Sejak duduk di bangku kelas 1 SMA 3 Semarang pada tahun 2011 silam, Dewi pun menggagas koperasi anak jalanan. Langkah itu cukup membuahkan hasil. Melalui koperasi ini diharapkan anak-anak jalanan bisa mandiri dan membuka lapangan kerja sendiri. Namun, koperasi tersebut belum bisa memutus regenerasi anak jalanan. Hal ini karena pengaruh motif dari orang tua yang memang menyuruh anaknya mencari nafkah di jalanan. Akhirnya, dia menciptakan suatu metode pembelajaran yang diberi nama Dinamyc Learning. Bagaimana perjuangan Dewi mengentaskan anak-anak jalanan? Berikut petikan wawancaranya. Sejak kapan Anda mulai aktif dalam pendampingan anak jalanan di Semarang? Jadi untuk pendampingan anak jalanan sendiri saya lakukan sejak tahun 2011 sejak saya kelas 1 SMA 3. Sekolah saya kan dekat sama Tugu Muda. Setiap hari, saya dan sahabat saya namanya Farah anak UGM, melihat anak-anak kecil mengemis dan mengamen. Nah, dari situ timbul keinginan kita untuk menggantikan kegiatan mereka yang mengemis dan ngamen itu dengan sesuatu kegiatan yang positif, tapi tetap dapat duit. Karena mereka ini motonya ingin dapatkan uang dengan mengemis dan ngamen di jalan. Program apa yang anda tawarkan kepada mereka? Nah, itu kami menggagas yang namanya koperasi anak jalanan tahun 2011. Jadi kegiatan berkoperasi, dengan jualan gorengan, pisang kremes, es susu. Modal awal Rp 15 ribu. Kita juga sempat nanya-nanya di Dinas Sosial. Ternyata di Tugu Muda ini diketahui bahwa lokasi tempat tinggal mereka di kawasan Gunung Brintik, Kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Dari situ kami dekati door to door ke anak-anaknya. Pertama kali yang ikut tiga anak dan setelah itu terjun langsung ke Tugu Muda. Mereka malu-malu apalagi saya juga waktu itu SMA kelas 1 nggak tahu apa-apa. Pertama kami ikut ngamen dulu, pakai baju sekolah tapi cuma ditutup jaket, ya tepuk tangan aja gitu. Nah setelah dekat sama mereka, beberapa kali ikut ngamen, kenal sama yang megang Pasar Bulu yang saat itu belum direnovasi. Kami ikut ngamen, sudah dekat baru ditawarkan. Jadi kami ingin menggagas koperasi buat teman-teman di sini dengan segala macemnya. Jadi anak-anaknya itu ada yang kecil umur 4 tahun, ada yang umur 12 sampai 17 tahun. Berapa anak yang tertarik dengan program Anda saat itu? Pertama kali yang tertarik cuma tiga orang, jualan 30 gorengan. Kita jual harganya seribu. Kan untung dan besoknya lagi jualannya lebih banyak. Seperti koperasi lain, kita juga ada simpanan pokok, wajib, sukarela. Kami ajarkan mereka bagaimana mengelolanya. Kalau SHU-nya di koperasi yang normal ya pertahun, nah kalau di sini dibagikan setiap hari. Jadi misalkan hari itu dapat untung Rp 50 ribu ya sudah dibagi orang berapa yang ikut. Jadi cuma jualan satu jam sudah langsung laris, kalau mereka ngamen 10 orang dapat Rp 50 ribu itu sudah berjam-jam. Mereka merasa bahwa koperasi ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan mengamen, akhirnya mereka banyak yang ikut sampai akhirnya bergabung 12 anak di tahun 2011. Apakah ada dampak progresif dari program koperasi tersebut? Pada 2012-2013 kami juga masih mendampingi, ternyata lambat laun anak-anak didikan saya yang pertama yang berjumlah 12 orang itu sudah mulai mengerti dan meninggalkan ngamen. Saya juga mengajarkan nilai-nilai moral kepada mereka. Nah mereka perlahan-lahan ada yang kerja yang penting tidak jadi pengamen. Tapi, ternyata adik-adik merekalah yang justru menggantikan peran di jalanan. Apa yang menyebabkan mereka turun ke jalan lagi? Setelah ditelusuri, ternyata mereka disuruh orangtuanya. Maka dari itu saya mengajak tiga teman saya yang lain, Meriza Lestari, Auliya Fahruddin, M Firzatullah, dan menciptakan sebuah metode pembelajaran yang dinamis (Dinamyc Learning). Para orang tua juga bisa bergabung dalam program ini. Apa yang diajarkan dalam Dinamyc Learning? Kami mengajarkan lima pilar karakter yaitu nasionalisme, motivasi, teknologi, keimanan, dan kewirausahaan. Kenapa lima pilar itu, balik lagi ini adalah lima pilar yang dibutuhkan sama mereka. Ternyata benar dan ini harus mengintegrasikan ibu dan anak. Apakah Dinamyc Learning cukup efektif? Alhamdulillah ini adalah cara yang lebih efektif untuk perlahan-lahan memutus regenerasi mereka. Jadi pada saat kuliah itu ada program kreativitas mahasiswa, itu saya ngirim proposal tahun 2014, terus 2015 ini jalan mulai Januari. Alhamdulillah didanai oleh Dikti. Siapa yang menjembatani Anda untuk merangkul para orang tua anak jalanan tersebut? Jadi di Gunung Brintik itu ada Mbak Ayu, ibu RT di situ yang memang peduli banget sama anak-anak sekitar. Jadi Mbak Ayu juga dulunya anak jalanan. Dia sudah bertransformasi untuk tidak jadi anak jalanan lagi, sudah lulus kuliah. Bagaimana cara Anda mendekati para orang tua mereka? Pertama kali kami mendekati orang tuanya dengan door to door, dengan bantuan Mbak Ayu pakai acara forum ibu PKK dulu. Awalnya mereka nggak yakin sama kita, karena sebelumnya memang sudah sering banget diberi pelatihan sama Dinas Sosial. Apa yang menjadi keluhan mereka? Ibu-ibu ini pernah diajarin cara bikin manik-manik, kue segala macam. Tapi sifatnya kan temporari gitu, dan tidak sampai ke bagian penjualan, nggak sampai jadi duit. Ujung-ujungnya, alat-alatnya malah dijual. Kami di situ mencoba berkomitmen sama ibu-ibu bahwa pendampingan ini akan bersifat tidak cuma mendampingi dari awal, tapi sampai penjualan lewat sistem ecomerce via online. Awalnya nolak, tapi coba kami yakinkan terus dikumpulin dalam sebuah forum. Kami pertama ajarin motivation training dulu. Pertama kali memotivasi mereka memang agak sulit. Mereka awalnya tertarik karena ecomerce tidak ada modal awalnya. Jadi kita menghimpun dulu uang dari customer baru buat produknya, jadi meminimalisasi kerugian, akhirnya mereka mau diajak. Apakah pendampingan yang dilakukan pemerintah sudah efektif? Pendampingannya sendiri menurut saya belum efektif ya, karena orang tua dan anak ini harus diintegrasikan, tidak bisa orang tua sendiri ataupun anaknya sendiri. Tapi benar-benar mereka ini diintegrasikan dan programnya ini kalau ngajarin ibu-ibu bikin A bikin B tapi bagaimana caranya jadi uang gitu. Mereka yang sering mengeluhkan itu, gimana caranya supaya menjadi uang untuk usaha yang berkelanjutan. Ini perlu dicanangkan dengan baik oleh pemerintah agar ketika pembiayaan melalui ABPD benar-benar dialokasikan secara efektif dan efisien. Kenapa lebih memilih anak jalanan dan apa harapanya ke depan? Kenapa anak jalanan, karena saya suka anak kecil, dan ingin menyelamatkan generasi muda. Mereka punya potensi, punya bakat. Mumpung masih kecil masih bisa diselamatkan, kalau untuk kaum marjinal yang lain sedang on the way. Harapannya metode dinamyc learning ini bisa diterapkan di kota-kota besar lainnya di Indonesia yang ada potensi anak jalanan kayak di Jakarta, Jogja, Malang, dan Surabaya. (M.Khoiruddin) BIO Dewi Nama. : Dewi Nur Cahyaningsih TTL. : Semarang, 24 Juli 1995